Rabu, 27 Agustus 2008

Fitnah (2)

Baca post sebelumnya.


Esok harinya gw masuk sekolah dengan riang luar biasa. Ini adalah salah satu ilmu dasar AR, bisa kelihatan riang walau hatinya seakan mau patah. Gw bergurau (yang gw ingat-ingat sekarang agak terlalu berlebihan, tapi tak mencolok) keras-keras dan tertawa mendengar apa saja. Saat itulah, seperti biasa, gw njengukin cewek gw KaitoIcha di 8D. Dan seperti biasa lagi Master selalu ngikut gw. Dan dengan sendirinya Rinal ikutan juga. Saat itulah mereka bertukar cerita soal yang terjadi kemarin itu.


Dengar-dengar dari cerita-cerita mereka bertiga, beginilah yang gw simpulkan soal apa yang terjadi saat gw muntab.


KaitoIcha, Master, dan Rinal, segera setelah mereka melihat seseorang yang murka luar biasa di depan mereka dan membuat seseorang di dekatnya berjarak radius satu meter merinding ketakutan, mereka kabur ke 8D. Disitu mereka membicarakan tentang Tyo. Selang berapa lama (setelah Rinal membuntuti Tyo tentunya) Rinal dan KaitoIcha memutuskan buat ngeliat gw.


”Tapi jangan lewat pintu!” kata KaitoIcha. ”Gw serem aja, nanti kita diserang, lagi.”


”Ya udah, lewat jendela,” kata Rinal.


Mereka ke jendela 8C dan melongok ke dalam, lalu seperti yang udah gw jelaskan sebelumnya, mereka ngetuk jendela dan Rinal mengangkat tangan untuk menyapa gw, tapi terhenti begitu melihat gw yang lagi kalap. Dia langsung menurunkan tangannya lagi, lalu dua-duanya turun ke bawah jendela.


”Nal,” gumam KaitoIcha.


”Ya?”


”Lari yuk.”


“Ayuk.” Hening sejenak. Lalu mereka bersamaan lari ke 8D sambil menjerit histeris. ”Aaahh!!!”


Oh, pikir gw. Pantes aja gw denger orang teriak. Mereka toh.


Nah, setelah berapa lama di 8D, giliran Master yang pengen liat gw. Dia jalan ke 8D, dan sekali lagi udah gw jelasin, dia mengangkat tangan dan pasang tampang riang pengen nyapa gw. Tapi begitu ngeliat ekspresi gw, dia langsung merinding dan bergeser beberapa derajat ke kanan, dan langsung berseru, ”Hai, Rez!”


Hmm. Ternyata bener, kalo gw marah itu serem banget. Yah, walo gitu gw tetep ngakak keras-keras begitu denger berbagai cerita mereka. Entah mereka belom pernah ngeliat orang yang marah luar biasa kayak gw waktu itu (saking marahnya gw, waktu itu gw udah siap aja ngebanting Tyo ke dinding lalu nginjek-nginjek dia, pokoknya menghancurkan apapun darinya—untunglah gw masih diberkati akal sehat), ato emang gw aja yang terlalu marah saat itu. Yang jelas rasa takut dan penyesalan masih bercokol di hati gw saat itu, karena walo dipikir-pikir yang menyebabkan berita ini anak kelas 9, tetep aja, andaikan gw gak berusaha sahabatan sama Master, semua ini nggak bakalan terjadi. Kenapa ya gw gak bisa jadi anak pendiem nan kuper gitu, kek? Kayak Rival dulu...idupnya tenang terus tuh...


Dan ternyata gangguan ini berhasil diobati beberapa hari kemudian. Saat itu Master lagi nelpon gw, ngurusin tugas wawancara bahasa. Saat setelah selesai membahas wawancara, Master tiba-tiba ngomong.


”Sa,” katanya dari seberang telepon. ”Suara lw kayaknya cemas gimana gitu. Ada apa?”


Gw diem bentar. Ketahuan ya?


”Master?”


”Ya, muridku?”


Gw tertawa kecil mendengar kalimat itu, lalu berkata pelan. ”Gw takut.”


“Takut? Kenapa?”


“Kasus kelas 9 ini,” kata gw, mendesah. ”Gw khawatir.”


”Khawatir? Lw nggak perlu khawatir, Sa. Kita pihak yang benar. Apalagi Tyo pasti bisa mengakui kesalahan informasinya.”


”Bukan khawatir tentang itu. Mungkin nama kita memang bisa terselamatkan di mata para guru. Tapi di depan anak-anak? Mereka nggak bakal percaya begitu saja dengan sebuah kesalahan informasi. Kalo gw jadi mereka, gw bakal mikir bahwa kita ngancem Tyo buat bilang itu kesalahan. Karena nggak ada bukti yang membuktikan kesalahan itu, kan?” kata gw. ”Lagipula masalah terbesarnya bukan itu...gw takut kalo nama lw tercemar, Master. Lw selama ini dikenal sebagai anak yang gak banyak masalah, kan? Gimana kalo nama lw jadi buruk? Itu semua bakal jadi tanggung jawab gw. Gw takut karena gw temenan sama lw lah maka nama lw jadi buruk begitu.”


”Dengerin gw, Sa,” kata Master serius. ”Pertama, ini bukan cuma masalah gw atau masalah lw—ini masalah kita berdua, atau kalau mau jujur, masalah kita bertiga ditambah Tyo. Dan kenapa lw cuma mengkhawatirkan gw? Emangnya nama lw nggak ikut rusak?”


”Huh,” dengus gw pahit. ”Nama gw sudah hancur sejak gw pertama menginjakkan kaki di sekolah kita. Mau nama gw makin jelek ataupun malah makin bagus pun nggak ada gunanya. Selamanya gw bakalan dikenal di kelas 9 sebagai pelacur tak berguna yang nggak berharga. Ngerti?”


”Nggak, gw nggak ngerti kenapa lw bisa sampai seburuk itu di mata anak kelas 9,” gw hampir bisa melihat Master menggeleng. ”Tapi, well, kalaupun nama gw jadi ikut rusak, nggak apa-apa. Sekolah itu isinya bukan cuma anak-anak kelas 9. Gw nggak nyesel temenan sama lw, Sa.”


”Benar?”


”Sungguh. Nah, lw udah tenang?”


”Ya,” kata gw senang. ”Makasih, Master.”


Dan kami mengakhiri percakapan itu. Setelah menutup telepon, hati gw jadi lebih ringan dari yang pernah gw rasakan. Saat itu gw baru sadar kalo gw pernah menemui orang yang mempunyai cara menghibur yang sama, gaya bicara yang sama, dan suara yang sama...seseorang yang nggak akan bisa memberikan hiburan-hiburan buat gw lagi sekarang, orang yang sudah nggak mungkin gw jangkau...The Creator of GA.

2 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
sashacool mengatakan...

=_=
you have a nice pet one ^^