Minggu, 19 Juli 2009

Jing-Le Bells (DNK) NC-17 [Part 1]

[Hei semua, Sasha Kieselstein ish baa~ck XD gw lagi ngalor ngidul kea orang geje gini, terus memutuskan buat bikin fanfic singkat-nya Delta No Kira. Setting cerita ini pas mereka masih kelas 2 SMP--jadi Nagini dan Icha udah ketemu sama Ryuuji dan Iguana (Icha ketemu Ryuuji pas SD, Nagini ketemu sama Iguana pas kelas 1 SMP). Nagini dan Icha juga belum bertengkar, mereka masih sama-sama murid di Fighter Academy, tapi FA waktu itu belom asrama--jadi Nagini sama Icha tinggal serumah, sementara Ryuuji dan Iguana serumah di rumah laen. Nagini sama Icha udah masuk Delta, tapi waktu itu Delta masih normal, dan Icha juga belom jadi ketuanya (Icha jadi ketua pas mereka beranjak SMA). Cerita gak jelas ini romance normal. OMG gw udah lama kehilangan sense normal gw ;A; kebanyakan yaoi keanya...orz]

***

Benda putih melayang turun, hinggap di tangan telanjang Icha yang mulai membiru.

Gadis itu mendongak. Butiran-butiran salju yang lain, serupa tapi tak sama, turun merayap pelan-pelan ke jalan batu. Cuaca memang sudah mulai mendingin. Ia ingin cepat-cepat sampai rumah. Icha merapatkan baju hangatnya dan mulai berlari kecil menuju rumah kecilnya yang hangat.

Hari ini tanggal 24 Desember, malam Natal. Ia mungkin akan merayakannya sendirian lagi, seperti tahun lalu. Ah, tunggu. Bukankah Nagini tinggal bersamanya? Tapi tidak, gadis itu sesibuk lebah pada malam musim semi. Berani taruhan, dia pasti belum pulang ketika Icha tiba di rumah nanti. Bagaimana dengan Ryuuji? Icha bisa merasakan wajahnya menghangat ketika mengingat itu. Ah, Ryuuji--

--mana berani Icha mengajaknya pergi?

Icha membuka pintu rumah. "Aku pulang."

Tidak ada jawaban. Nagini memang belum pulang. Bodoh sekali mengharapkannya pulang dibawah jam tujuh. Icha menaruh barang bawaannya di meja makan, lalu menandai kalender. Setelah menghidupkan heater di ujung ruangan, ia duduk di kursi sambil membuka lasagna dingin yang baru ia beli tadi. Icha ingin menghemat pengeluaran dan hanya membeli makanan yang cukup murah. Menyantap makan malamnya tanpa berselera, ia merenung. Bagaimanapun, ini Natal. Masa ia tidak membelikan apa-apa untuk Nagini? Tapi ia defisit--benda apa yang cukup murah tapi bermutu untuk dihadiahkan kepadanya? Nagini selalu punya uang--gadis yang hidup glamor dan menyukai dunia malam itu, anehnya, selalu punya uang. Mungkin karena ia kerja sambilan. Sementara Icha sendiri lebih fokus pada kegiatan Delta--dan Delta kan tidak memberikan gaji. Nagini mengikuti Delta hanya jika kegiatannya menurutnya menarik. Gadis berambut cyan itu malah terkadang hanya peduli pada seberapa banyak imbalan yang ditawarkan.

Icha beranjak ke kulkas dan membukanya. Bisa dilihat, sebagian besar barang yang ada didalamnya milik Nagini. Nagini selalu menstok bahan makan malam, belum lagi ditambah berbagai minuman--beberapa diantaranya minuman keras, yang dijauhi Icha sekuat tenaga--dan makanan kecil yang bisa dimakan sambil menonton televisi malam-malam. Burito, nachos, brioche, mi cup instan. Tapi Nagini selalu membolehkan Icha mengambil apa saya miliknya di dalam kulkas.

"Apa yang ada di dalam kulkas berarti milik kita berdua. Kalau ada sesuatu yang aku tak ingin kau memilikinya, pasti kutaruh di kamar."

Nagini selalu berkata begitu. Tapi kecuali ia benar-benar lapar dan kehabisan makanan, Icha mengusahakan memakan makanannya sendiri. Bagaimanapun, semua makanan itu hasil jerih payah Nagini bekerja sambilan. Icha mengintip lagi ke dalam kulkas, mencari minuman yang ia miliki. Ah, soft drink terakhir miliknya sudah habis kemarin. Dengan enggan, Icha meraih sebotol teh dingin punya Nagini, menghindar dari kaleng-kaleng minuman keras yang berderet di sampingnya, lalu meneguk teh itu. Selanjutnya, ia merogoh ke almari, mencari kue sisa kemarin. Ia membuka kotaknya. Yang tersisa tinggal remah-remah.

“Ah,” ia bicara sendiri. “Kelihatannya Nagini memakannya tadi malam.”

Ketika Icha membuang kotak kue itu ke tempat sampah, ia mendapat ide bagus. Kenapa ia tidak membuat saja biskuit untuk Natal? Bagaimanapun, Nagini suka makanan manis, bisa dibuktikan dari kemampuannya menghabiskan sekotak besar biskuit dalam waktu semalam. Icha mengeluarkan semua belanjaannya dan, sambil memeriksa almari dan kulkas beberapa kali, mendapatkan semua yang ia butuhkan. Mentega, gula, telur, tepung. Dimana terakhir kali ia menyimpan decopen? Dan kuas kue? Ah, ini dia, dibawah almari. Setelah memastikan semua yang ia butuhkan ada, ia mulai bekerja.

Ia mencampur mentega, gula, putih telur, dan tepung dalam satu mangkuk besar, lalu mengaduknya perlahan. Setelah adonannya lembut dan rata, Icha memasukkannya ke dalam kulkas selama setengah jam. Sambil menunggu, ia menjerang air untuk membuat teh dan memanaskan decopen nantinya.

Setelah setengah jam, Icha mengeluarkan adonan yang sudah dingin dari kulkas dan menggilingnya diatas tatakan yang sudah ditaburi terigu, lalu mencetaknya dan menaruhnya hati-hati diatas loyang. Setelah memoles bagian atas biskuit itu dengan kuning telur, Icha memasukkannya ke dalam oven. Sementara menunggu biskuitnya dipanggang, ia berpikir lagi. Masih ada sisa apel di kulkas, bukan? Nagini membeli sekeranjang penuh ketika obral akhir musim gugur. Tinggal sisa apel yang masih hijau karena yang merah sudah habis dimakan dirinya dan Nagini. Apel hijau itu masam dan tidak akan enak untuk dimakan seperti biasa—tapi kalau tidak dimakan, apel itu akan segera busuk. Icha punya ide lain untuk memakan apel itu tanpa perlu menunggunya benar-benar masak.

Ia mengeluarkan apel-apel, itu, mencucinya, lalu—dengan menggunakan pisau khusus—mengeluarkan bijinya. Dimasukkannya apel ke dalam panci, dia bubuhi mentega sisa membuat kue tadi dan gula cokelat, lalu menunggu lagi sampai biskuit di dalam oven matang benar. Icha mengeluarkan biskuit dari dalam oven, dan ganti memasukkan panci berisi apel itu ke dalam oven.

Ketika ia sedang menghias biskuit dengan decopen yang sebelumnya sudah direndam dalam air panas, pintu menjeblak terbuka dan sesaat angin yang luar biasa dingin menghembus ke arah Icha sebelum pintu itu tertutup lagi. Di depannya, Nagini sedang berdiri, membawa dua tas belanja di kedua tangan dan satu tas lagi digigitnya—saking penuhnya tangannya.

“Haku hulang,” katanya tidak jelas sebelum menaruh tas-tasnya di meja dan merosot kelelahan di kursi. “Toko kado di Eriole penuh sesak. Aku nyaris tidak bisa menyelinap di antara para pembeli yang bersemangat untuk mengambil souvenir bagus—padahal kau tahu betapa kurusnya badanku.”

Nagini bicara jujur dan Icha tahu itu. Badan Nagini langsing dan dia selincah kucing, Icha sendiri tak bisa membayangkan Nagini susah bergerak. Pasti Eriole benar-benar penuh sesak.

“Apa yang kau belikan untukku?” Icha nyengir, kembali memandang biskuit yang sedang ia hias.

“Nih,” Nagini mengeluarkan kotak dari tas belanjanya. “Butuh waktu lama untuk membujuk yang punya melepas ini dengan harga yang cukup pantas. Eriole memang punya banyak penyihir, tapi pelit-pelit semua.”

Icha meletakkan decopen dan membuka kotak itu, lalu mengeluarkan benda yang ada di dalamnya. Rantai emas berkilauan, dengan liontin batu permata berkilauan yang dipoles dengan ketekunan luar biasa. Ini bukan buatan tangan—pasti sihir.

Melihat Icha yang menatap lekat-lekat liontin kalung itu, Nagini menjelaskan. “Itu batu Nagamani asli yang diambil langsung dari dahi Vasuki, raja ular di lepas pantai Negeri Lemuria. Batu legendaris yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit selama kau memakainya.”

“Setahuku batu Nagamani mengambil kekuatan dari manusia jika ia akan menyembuhkan seseorang,” Icha menatap curiga ke arah Nagini.

“Memang,” kata Nagini enteng, menaruh belanjaan malam Natal-nya di dalam kulkas. “Sudah kuatur agar ia mengambil alih kekuatanku jika sesuatu terjadi padamu—yah, selama kau memakainya.”

Itu merupakan sebuah hadiah yang tak ternilai harganya, belum lagi ditambah dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan Nagini ketika mencari, membujuk sang empunya untuk melepas kalung itu, dan membelinya dengan harga selangit—dan Icha ternganga tak bisa bicara. Nagini kelihatannya tidak sadar sama sekali.

“Jadi,” ia menoleh dan memandang biskuit di loyang. “Apa itu hadiah untukku?”

Icha tergagap. “Ini…”

“Kalau iya, bagus deh,” Nagini mencomot satu dan memakannya dengan senang. “Aku tidak tahu kau bisa masak, Icha.” Ia mengerjap. “Hei, ini lezat. Rasanya tidak buruk. Kerja bagus!”

“Yah, aku memang tidak bisa masak,” Icha nyengir dan menunjukkan tangannya yang melepuh dan berdarah dimana-mana. “Padahal cuma kue saja tapi bisa separah ini, menakjubkan benar kemampuanku.”

Tidak ada komentar: