Minggu, 19 Juli 2009

Jing-Le Bells (DNK) NC-17 [Part 2]

“Tidak, tapi ini enak banget, sumpah,” Nagini mengambil satu lagi. “Akhirnya ada orang lain yang memberiku hadiah Natal selain buku. Kenapa tidak ada yang memberiku sesuatu yang dibuatnya sendiri?” Nagini merengut.

“Hadiahku tidak sebanding dengan batu Nagamani,” sergah Icha, menyelesaikan dekorasi kuenya.

“Paling tidak kau buat sendiri, dengan begitu menjadikannya satu-satunya di dunia,” kata Nagini halus. “Vasuki bisa menumbuhkan batunya kembali, dan dalam jangka waktu beberapa tahun, akan ada penyihir yang mencuri Nagamani lagi. Kalung itu tidak selangka yang kau pikir, walaupun mendapatkannya terlihat sulit.” Nagini mengambil teko air dan menjerang teh. “Sementara sesuatu yang dibuat sendiri tidak akan ada bandingannya di seluruh dunia.”

Icha tidak ingin membantah argumen itu. “Omong-omong, hadiah apa yang akan kau berikan kepada Iguana?”

Nagini nyengir. “Sesuatu yang kudapat dengan koneksi di Zweihander. Aku pernah membantu si pemilik toko.” Nagini melirik oven. “Apa yang sedang kau masak disana?”

“Kau akan menyukainya. Kurasa sudah cukup matang,” Icha menghampiri oven dan mengeluarkan apel panggang. Daging buah itu rapuh, putih dan lembut, sedangkan mentega dan gula telah membuat apel itu manis. Icha juga sudah membuat kustar (susu-telur manis) dan krim untuk melengkapi apel panggang itu. Icha menyajikan dua apel ke dua piring, memberi sausnya, dan memberikannya ke depan Nagini. Nagini menyantap sesendok. Ia mengerjap.

“Ini,” engahnya. “adalah puding Natal paling enak yang pernah kurasakan.”

Icha tersenyum sebagai jawaban dan menyantap satu. Ia sendiri juga bangga dengan puding itu, walau tidak mengatakannya keras-keras.

“Jadi, apa kau juga akan memberikan biskuitmu kepada Ryuuji?” tanya Nagini mendadak, membuat Icha langsung tersedak. Nagini menyodorkan secangkir teh.

“Terima kasih,” Icha meneguknya, lalu ketika menurunkan cangkirnya, wajahnya sama merahnya seperti baju yang dipakainya. “Yah, kurasa iya. Aku tak punya uang untuk membeli sesuatu untukmu dan dia.”

“Aku jatuh cinta dengan biskuit itu,” Nagini menjungkirkan kursinya pada dua kaki belakang, memandang Icha dengan binar jenaka. “Dan kurasa harusnya Ryuuji juga begitu. Pilihlah biskuit yang paling bagus buatannya dan yang paling tidak gosong, hias seindah mungkin dengan decopen, lalu berikan padanya.”

“Apa kau pikir dia akan senang?” Icha memandang Nagini sedih.

“Hei, aku sudah membongkar rahasia kepribadian lelaki sejak aku duduk di taman kanak-kanak. Apakah kau tidak percaya padaku?”

Icha memandang gadis glamor yang mengedipkan mata itu, dan seketika percaya. Bagaimanapun, Nagini mengenal jiwa lawan jenisnya hampir seperti ia mengenali tangannya sendiri. Ia bangkit dan berlama-lama memilih biskuitnya, mengambil yang paling besar dan memasukkan yang kecil-kecil ke dalam plastik berhias, lalu mengikatnya dengan pita sederhana. Terakhir ia memeluk leher Nagini singkat, lalu menyambar syal dan jaket dari gantungan di samping pintu.

“Terima kasih!” dan ia menghilang.

Nagini tersenyum ke arah pintu yang menutup, lalu menghirup tehnya lagi.

***

Icha berlari kecil di sekitar komplek Fighter Academy yang seluas desa kecil itu. Bukan tabiat Ryuuji dan Iguana untuk tinggal di rumah saat malam Natal—mereka pasti keluyuran kemana-mana. Bahkan Nagini seharusnya juga keluyuran, tapi ia pulang, tentu saja, karena tahu Icha menunggu di rumah. Dulu ketika Nagini hidup sendirian, ia bisa pulang pagi dengan kesadaran sudah nyaris hilang karena mabuk. Keberadaan Icha-lah yang mencegahnya untuk tidak mabuk-mabukan setiap malam seperti dulu—yeah, dia masih mengkonsumsi minuman keras, tapi tidak sesering dulu lagi—dan ia juga tidak pernah pulang pagi. Paling banter tengah malam.

Ia sedang melewati taman bermain ketika mendengar suara bola yang ditubrukkan ke pohon. Siapa yang ingin bermain bola di luar saat malam Natal—kecuali, tentu saja, Ryuuji? Icha menoleh. Benar dugaannya, itu memang Ryuuji, kedua tangannya di kantong sementara kakinya memainkan bola sepak dengan piawai.

“Ryuuji!” Icha berlari menghampirinya. Lalu sosok lain muncul dari balik pohon.

“Hei, Laevaeisen!” sapa Iguana. “Apa kabar? Sedang apa kau diluar saat malam Natal? Setahuku kau bukan Nagini.”

Aduh, gawat. Dia kan tidak menyediakan apapun untuk Iguana. Icha mencoba bersikap tenang.

“Jangan panggil aku Laevaeisen kenapa. Bagaimanapun kau kan sudah kenal aku.”

“Baik, baik,” Iguana menatap Ryuuji dan Icha bergantian. “Jadi, kenapa kau keluar malam, Icha? Mau ke rumahku? Aku lapar banget nih.”

“Ng, kalau begitu makan saja ini,” Icha mengeluarkan bungkus biskuit dari kantong jaketnya. “Kebetulan aku sedang bereksperimen dengan biskuit.”

Ryuuji memandang biskuit di kantong transparan itu dengan mulut ternganga, wajahnya bersemu sedikit. Iguana bergerak gelisah, merasa ia sangat mengganggu.

“Euh, aku pulang ya?”

“Jangan!” cegah Icha. Keadaan akan menjadi canggung kalau Iguana pergi. “Cicipi saja kueku. Bagaimanapun aku butuh pendapat banyak orang.”

“Kau yang buat, nih?” Ryuuji mengambil kantong kue itu dan memandangnya. “Bisa dimakan nggak?”

“Jahatnya! Aku membuatnya dengan mengorbankan sepuluh jariku!”

“Buset, bikin biskuit aja jari nyaris ancur gitu. Aku jadi kepingin lihat rupa tanganmu setelah membuat kue tart.”

“Sudah ah, Ryuuji, mending dimakan biskuitnya.” Iguana memiringkan kepalanya. “Aku boleh ambil kan, Cha? Boleh? Baiklah,” ia merogoh kantong di tangan Ryuuji dan menggigit satu biskuit. “Hei, ini tidak buruk! Enak juga, Cha!”

Icha tersenyum ceria. “Bener kan? Nagini aja muji.”

“Minta lagi, dong—“ Iguana mencoba mengambil satu biskuit lagi, tapi Ryuuji menjauhkan kantong biskuitnya.

“Enak aja…” Ryuuji merengut, wajahnya makin bersemu. “…ini kan buat aku!”

Hening sejenak. Lalu Icha langsung menunduk, telinganya tampak seperti sayatan daging mentah, sementara Iguana tergelak-gelak.

“Coba, Ryuuji, tadi bilang apa? Kurang kedengeran…”

“Iguana apaan sih?!”

“Ini lagi bertiga malah ribut-ribut disini. Nggak kedinginan ya?” terdengar suara dalam yang dewasa dan Icha mendongak. Iguana dan Ryuuji berhenti bergumul di tengah udara. Nagini tersenyum, tangannya menenteng satu kantong belanja warna coklat. “Hai, Ryuuji. Sebaiknya makan semua biskuit itu sebelum dingin dan tidak enak lagi. Icha sudah susah payah membuatkannya untukmu. Omong-omong,” Nagini memandang Iguana, sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi yang terjadi di wajah Icha dan Ryuuji ketika ia berbicara—wajah keduanya berpendar seperti matahari terbenam. “Nih, Igu-kun. Kubelikan kau ini, mumpung aku lagi punya duit.”

Tidak ada komentar: