Senin, 12 Januari 2009

She Is Just A Tool, But I Can Kill You, Luka!

Gw menekan cepat-cepat nomor MASTERspy dan menempelkan ponsel di telinga gw. Rasanya seperti seabad pas gw nungguin dia ngangkat telepon.

“Halo,” akhirnya dia angkat juga.

“MASTERspy,” kata gw tegang, memanggilnya dengan jabatannya sekarang untuk mengisyaratkan betapa seriusnya situasi ini. “Lw onlen?”

“Kebetulan, baru aja nyalain modem. Napa?”

“Bagus. Masuk ke blog Luka, sekarang juga.”

Hening ketika MASTERspy masuk ke blog tersebut.

“Udah. Terus?”

“Baca post kedua terakhir. Ayo.”

Hening lagi ketika MASTERspy ngebaca seluruh post.

“Gila,” adalah kata pertama yang terlontar dari mulutnya. “Mau membatalkan MASTERplan?”

”Menurut lw itu jebakan atau bukan?”

“Jebakan? Jebakan macam apa yang bentuknya kayak begini?”

“Kan andaikan gw percaya sama kata-kata itu, gw bakal menarik mundur semua upaya Anti-MASTERplan. Itu kan menguntungkan Luka, andaikata dia tetap melanjutkan MASTERplan!”

“Lw bener juga,” MASTERspy bersuara terdengar seperti ragu-ragu. Gw nyaris nggak pernah ngedenger nada suara kayak gitu terlontar dari mulutnya. “Kita ada dalam dua pilihan, percaya atau nggak dengan fakta ini. Bagaimanapun bikin jebakan begini mudah saja—dia dan lw sama-sama tahu yang lain mengawasi perkembangan yang lain, akan mudah buat dia kalo dia mau menghembuskan informasi palsu kepada lw. Tapi di sisi lain…” dia mendesah. “Emosi Luka adalah emosi paling labil yang pernah gw liat, dan gw rasa normal buat makhluk seperti dia untuk mengubah rencana.”

“Emosinya memang labil dan gw tahu itu,” kata gw. “Tapi sampai mengubah rencana? Lw tahu sendiri selabil apa emosi gw, dan memangnya gw pernah mengubah rencana sampai 180 derajat seperti ini?”

“Itu juga perlu dipertimbangkan,” keluhnya. “Astaga, coba kita tahu apa yang harus kita lakukan...”

“Kira-kira akan bagaimana sikapnya?” tanya gw.

“Maksud lw?”

“Maksud gw, kan selama ini dia jaga jarak—dan bener-bener sangat jaga jarak, sampe bolos OSIS segala, gw lagi mempertimbangkan mau ngelaporin dia ke Pak Muchson ato nggak—dan kalo MASTERplan ditarik dari peredaran, apa yang bakal dia lakukan?” Gw mengusap dahi, merasa sangat lelah. “Lebih spesifiknya lagi, apa yang harus gw lakukan?”

“Gini deh,” kata MASTERspy. “Emangnya kalo ternyata dia akan bersahabat lagi sama lw, lw mau baikan sama dia?”

“Nggak,” kata gw jujur.

“Nah, gitu kan selese, repot amat,” kata MASTERspy enteng. “Kita nggak akan mengubah sikap dan kewaspadaan. Bagaimanapun juga Anti-MASTERplan Program harus tetep berjalan. Lagipula di post Luka bilang kalo dia mau men-delay MASTERplan, bukan menghapusnya sama sekali. Lebih baik kita tetap memperkuat pertahanan sementara dia mundur dari MASTERplan, jadi pas hari invasi dimulai lagi, kita sudah punya banyak tenaga. Keputusannya benar-benar salah, men-delay MASTERplan. Sepertinya keputusan itu dibuat tanpa berpikir panjang.”

“Bener juga,” kata gw senang. “Bagaimana nasib gw tanpa lw, ya?”

MASTERspy terkekeh.

Tidak ada komentar: